Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju dua puluh satu, beberapa jam lagi aku akan sampai disitu. Setelah berjalan melewati satu, dua, tiga...dua belas, lima belas, tujuh belas...dan dua puluh, akhirnya aku akan mencapai titik dua puluh satu, singgah disitu sebentar lalu kembali berjalan menuju titik-titik selanjutnya yang aku juga tidak tahu akan berhenti dimana.
Sebelum sampai di titik dua puluh satu, aku berada di titik dua puluh, dimana aku mulai menyadari bahwa aku beranjak dewasa dan aku merasakan puncak transisinya. Ada yang bilang, "Growing up sucks," dan pendapatku memang benar. Meninggalkan masa-masa kanak dan remaja yang sangat menyenangkan tanpa terlalu memikirkan resiko, tanggung jawab dan masa depan memang menguras kesabaran, pikiran dan menuntut kekuatan baik secara emosional maupun fisik. Biar aku ceritakan apa yang aku alami selama masa transisi di usia dua puluh tahun-ku.
Pernah kah kamu melihat cermin, menatap refleksi diri, mencoba mengagumi kelebihan namun yang kamu temukan justru kekurangan, keburukan dan kecacatan? Lalu setelah berhenti menatap cermin, berpaling memandang sekeliling yang ternyata penuh dengan orang-orang keren dengan usia tidak jauh beda bahkan lebih muda. Mulai gundah, mulai gelisah, mulai merasa rendah diri dan tidak berdaya, tidak bisa apa-apa. Kehilangan semangat, asa mulai luntur perlahan, tidak lagi bisa berlindung dan mengharapkan pujian-pujian manis dari orang terdekat karena harus menghadapi realita. Mulai sadar bahwa sudah bukan lagi saatnya untuk ongkang-ongkang kaki di rumah sambil membaca buku sampai Mama berteriak menyuruh makan, mandi atau sekedar mencuci piring dan menyapu lantai. Tidak dapat lagi mengurung diri di zona nyaman, namun terlalu tak rela untuk meninggalkannya.
Seperti itu rasanya masa transisi, dimana jiwa terbelah menjadi dua; satu ingin tetap tinggal namun satu sangat ingin meneruskan perjalanan. Aku mengerti bahwa mengenali diri sendiri itu sangat penting supaya bisa menjadi diri sendiri. Berkata, "Jadilah diri sendiri!" sangatlah mudah, tapi bagaimana mempraktekkannya? Mengenal orang lain bisa jadi bukan hal yang sulit, tapi bagaimana dengan diri sendiri? Sangat sering, di masa ini, aku ingin dikenal sebagai orang yang begini, namun ternyata jauh, jauuuuhhhhh di dalam jiwa ini aku adalah orang yang begitu. Untukku, menganalisa karakter novel adalah hal yang sangat mudah, sangat lebih mudah dibandingkan menganalisa karakter sendiri. Menganalisa karakter di novel mudah, tinggal melihat bagaimana cara berpakaian, berbicara dan berperilaku dideskripsikan baik oleh narator langsung atau melalui pembicaraan antar karakter lain. Sedangkan untuk menganalisa diri sendiri, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memfilter sifat dan perilaku lalu mengelompokkannya menjadi id dan super-ego kemudian menyeimbangkannya dengan bantuan ego. Rumit, bukan?
Di masa ini, aku menemukan hal-hal yang sangat aku benci ternyata bersemayam di dalam jiwaku. Angkuh, misalnya. Aku sangat membenci orang yang angkuh dan memandang orang lain rendah, nyatanya aku lah si angkuh itu. Realita memang pahit namun tidak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk membuat kepahitan itu menghilang selain menelannya bulat-bulat.
Refleksi yang cukup berantakan, dibuat dua jam sebelum aku benar-benar meninggalkan titik dua puluh dan berpijak di titik dua puluh satu. Aku bersyukur bisa melewati masa transisi ini dengan penuh tekanan dan tantangan karena dengan adanya mereka aku bisa merasakan hidup.
Selamat ulang tahun, aku! (Karena aku juga butuh dicintai oleh diriku sendiri, salah satu caranya adalah memberi ucapan untuk diriku sendiri :p)
![]() |
Belum mandi dari pagi |