Challenge 11: Your family
Disclaimer: Disini, aku sama sekali nggak bermaksud untuk menjelek-jelekkan pribadi atau bahkan menyebarkan fitnah. Apa yang aku ceritakan disini murni terjadi dan dialami oleh keluargaku.
Haihai!
Berbicara tentang keluarga itu akan menghasilkan sebuah cerita panjang yang berliku dan mungkin membuat beberapa orang tercengang. Sebelumnya, izinkan aku bercerita panjang lebar tentang keluargaku serta sebuah hal luar biasa yang pernah kami alami dan hadapi bersama.
Mama dan Papaku memulai bahtera keluarga pada tanggal 18 November 1992. Saat itu Papaku berprofesi sebagai Pendeta dan Gembala sebuah gereja kecil di perkampungan pinggiran kota Sragen, jadi setelah menikah orangtuaku menetap di Saradan, Sragen. Orangtuaku nggak membangun bahtera rumah tangga dalam keadaan berkecukupan, cuy. Saat itu rumah dan gereja hanya berdindingkan anyaman bambu, karena masih dalam masa perintisan tentu saja orangtuaku belum punya cukup modal untuk membangun gereja yang besar dan permanen. Setelah hampir setahun menikah, barulah orangtuaku diberi berkat dan kesempatan untuk membangun gereja dan rumah tinggal permanen. Pembangunan berlangsung pas Mamaku memasuki trimester ketiga kehamilan pertamanya, karena tenaga kerja terbatas jadilah Mamaku bantu angkat-angkat bata walaupun perutnya sudah besar.
Di bulan Desember 1993, tepatnya tanggal 15, orangtuaku dikaruniai anak pertama mereka. Seorang anak perempuan yang (katanya) sih lucu. Coba tebak, anak itu siapa? Yap, aku, cuy. Sebuah nama yang cantik diberikan padaku, Ester Christine Natalia yang memiliki arti "bintang Kristus penuh harapan di suasana Natal". Yep, doa yang disematkan di dalam namaku memang rada 'berat', sampai sekarang aja aku masih belum tau gimana caranya mewujudkan doa di dalam namaku itu.
Kira-kira 1,5 tahun setelah kelahiranku, datanglah adikku satu-satunya ke dunia. Seorang anak perempuan juga yang diberi nama Eunike Yuni Puspitasari. Beberapa orang bilang sekilas wajah kita berdua seperti anak kembar, tapi seiring berjalannya waktu kekembaran itu nggak lagi terlihat karena adikku tumbuh menjadi seorang cewek yang jauh lebih cantik daripada aku :)
Keluarga kecil kami beranggotakan 4 orang dan 3 anjing ini adalah keluarga multi-kultur karena dibangun oleh dua orang dari suku yang berbeda. Papaku lahir dari suku Jawa asli, sedangkan Mamaku berasal dari suku Dayak Maanyan, asli juga. Gimana rasanya hidup di keluarga dengan budaya yang saling bertolak belakang? Rasanya menyenangkan, dan aku bersyukur bisa lahir menjadi seorang Jawa-Dayak. Melalui keluarga ini aku jadi nyadar kalau Indonesia itu sebenarnya kaya banget, cuma hanya segelintir orang saja yang menyadarinya. Menurut teori Papaku, ini terjadi karena segala macam pembangunan, perkembangan, informasi, eksplorasi, pemerintahan, semua terpusat di pulau Jawa, maka dari itu kebudayaan suku Jawa lebih dikenal daripada budaya-budaya dari suku yang lainnya.
Di keluarga kami, bahasa yang dipakai itu ada 4; Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, sedikit Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak. Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi, alasannya supaya adil karena Mama saya nggak lancar berbahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa kedua yang sering dipakai di rumah saat kami sedang bercanda, sedangkan Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak hanya dipakai untuk menyebut istilah-istilah tertentu saja seperti "menggurak" yang berarti "mendidih" dalam Bahasa Banjar dan "kuman" yang berarti "makan" dalam Bahasa Dayak.
Kami sekeluarga tinggal di Sragen sampai aku kira-kira berumur 6 tahun. Pada tahun 2000 kami terpaksa keluar dari Kabupaten Sragen karena hal yang tidak memungkinkan. Jadi, ceritanya begini:
Saat itu selain menjabat sebagai seorang pendeta, Papaku juga berkecimpung di dalam dunia politik. Bahkan Papaku sempat aktif di sebuah partai politik berlambang banteng, kalau nggak salah saat itu Papaku menjabat sebagai ketua ranting. Awalnya semua berjalan dengan sangat baik dan menyenangkan, Papa bisa dibilang salah satu orang sukses di desa kami. Semua orang di desa kenal Papa dan hampir seluruh penikmat politik di Sragen juga kenal Papa. Permasalahan muncul saat Papa membongkar kasus dugaan pemalsuan ijazah calon bupati yang diusung partai kerbau. Papa dan teman-temannya berusaha supaya kasus ini bisa naik ke pengadilan jadi calon bupati itu nggak bisa memerintah Sragen, bisa dibayangkan kan gimana misalnya seorang penipu memerintah? Sayangnya usaha Papa cs nggak berjalan mulus, si calon bupati ini bahkan terpilih menjadi pemimpin kabupaten Sragen selama 2 periode.
Aku masih ingat aku dan keluarga pernah diundang ke rumah bapak bupati itu beberapa hari setelah dia terpilih. Rumahnya itu yaa, bener-bener mewah dan besar! Bahkan halaman belakangnya itu kaya kebun binatang mini; ada kijang, angsa, macam-macam hewan ada disitu. Keluargaku dibawa ke suatu ruangan besar, entah itu ruang apa aku juga udah agak lupa. Disini, orangtuaku berbincang dengan bapak bupati sedangkan aku asyik mengunyah apel, bercanda sama adekku dan melihat kijang di kebun belakang.
Aku yang saat itu masih berusia 6 tahun jelas nggak ngerti hal yang sedang dibicarakan para orang dewasa saat itu. Apapun yang dibicarakan di dalam ruangan itu, aku yakin hasilnya nggak memuaskan karena beberapa hari kemudian, ada seorang preman bertubuh besar datang ke rumah dan menghajar Papaku. Aku lihat bagaimana Mamaku berdiri di depan Papaku, berusaha melindungi sambil membentak si preman, "Saya ini Dayak, kamu macam-macam sama suami saya, saya bisa bikin kamu mati sekarang!" Saat itu aku cuma bisa berdiri gemetaran di ambang pintu sambil mengenggam potongan bambu erat-erat sedangkan adekku menangis di dalam kamar. Beberapa hari setelah kejadian itu, jam 3 pagi aku dibangunin orangtuaku untuk masukin barang seperlunya ke dalam tas. Aku lihat orangtuaku menitipkan beberapa barang elektronik pada tetangga dan jemaat gereja. Aku nggak ngerti apa yang terjadi saat itu, aku tanya Mama dan beliau cuma bilang, "Kamu mau main ke rumah mbah Putri". Orangtua dari Papaku tinggal di Klaten, dan pagi itu dengan baju tidur yang belum sempat diganti aku, Papa dan adek bertolak ke Klaten dengan mengendarai mobil Jeep yang dikendarai oleh seorang anggota kepolisian. Aku tanya Papa kenapa Mama nggak ikut dan Papa bilang kalau Mama sedang menjaga rumah.
Hampir 3 hari aku habiskan waktu di rumah Mbahku dan aku merasa sangat dibatasi saat itu karena hanya bisa main di halaman rumah aja, nggak boleh kemana-mana. Kalau mau jajan ke warung pun harus ada orang dewasa yang nemenin. Aku juga diwanti-wanti untuk nggak menjawab saat ada orang asing yang bertanya, "Kamu anaknya siapa?" Setelah 2 hari dilewati dengan kebingungan karena Mamaku, yang katanya mau nyusul nggak datang-datang juga, akhirnya di hari ketiga Mama datang diantar salah satu teman politik Papa dengan membawa barang-barang dari rumah. Aku ingat saat itu aku dan adek langsung lari ke arah Mama yang menangis, saat itu aku pikir pasti Mama kangen sama aku.
Lama sudah aku tinggal di rumah Mbahku dan aku mulai bertanya kapan aku masuk sekolah. Saat itu aku udah duduk di bangku kelas 2 SD di SD Kristen Sragen, and for your information, aku berangkat ke Klaten saat hari sekolah bukan hari libur. Akhirnya saat itu aku dititipkan di SD Negri Bulan 2, aku belajar disitu selama 1 caturwulan sebelum akhirnya kami sekeluarga pindah ke Jogja.
Di Jogja, kami tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Karang Ploso, Maguwoharjo selama kurang-lebih 1,5 tahun. Aku merasa nyaman selama tinggal di Jogja karena nggak lagi dibatasi pas mau main, aku bahkan bergabung pada salah satu sanggar tari bernama Kembang Setaman dan sempat pentas sekali disitu.
Dari Jogja, kami sekeluarga pindah lagi ke Klaten tepatnya di daerah Delanggu, disinilah kami menetap. Aku disekolahkan di SD Kanisius Delanggu, disini aku lama menghabiskan masa SDku dari kelas 4 sampai kelas 6. Untuk pertama kalinya aku bisa awet di satu sekolah tanpa pindah-pindah lagi. Masa SDku disini menyenangkan karena dari sini aku mengenal pramuka, aku juga melanjutkan mendalami seni tari dan sedikit mempelajari gamelan di sanggar Ganesha di seberang sekolah, aku juga punya sahabat yang bertahan sampai sekarang namanya Gustin. Keluargaku, walaupun masih berpindah-pindah rumah kontrakan, tapi kehidupan kami jauh lebih nyaman nggak terlalu was-was seperti beberapa tahun sebelumnya.
Semakin aku besar, semakin aku mengerti apa yang menimpa keluargaku sampai kami harus hidup nomaden. Rupanya, keputusan Papa untuk menolak tawaran sekoper rupiah dan tetap bersikukuh membongkar kasus ijazah palsu saat bertemu di rumah si bupati membuat bapak bupati ini geram dan melakukan berbagai cara supaya Papaku "habis" dan kasusnya hilang bersama Papaku. Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Saat jam 3 pagi aku dibangunin itu ternyata Papaku udah dapat info kalau rumah mau diserang oleh simpatisan si bupati. Pihak kepolisian pun berupaya mengamankan Papaku dengan cara dilarikan ke Klaten. Bagaimana dengan Mamaku? Mama ada di dalam rumah saat para simpatisan itu melempari rumah dengan batu, sayangnya upaya simpatisan itu nggak ada hasilnya karena rumahku sudah 'dilindungi'. Sekitar 2 hari Mamaku bertahan di dalam rumah sampai akhirnya pihak kepolisian menjemput paksa Mamaku karena kondisi yang sudah tidak kondusif lagi, dengan kata lain nyawa Mamaku terancam. Saat itu juga ternyata orangtuaku meminta tolong pada banyak pihak untuk menjaga aku dan adekku, jangan sampai ada orang asing yang tau siapa orangtuaku. Itu terjadi karena adanya isu bahwa si bupati ini menyewa orang untuk menculik keluargaku, benar atau nggaknya isu ini aku juga nggak tahu. Finally, thank God, kami sekeluarga berkumpul kembali di Klaten walaupun saat itu kami sama sekali nggak akan bisa kembali ke Sragen.
Yap, itu masa lalu kelam yang masih membekas di ingatan kami sekeluarga sampai sekarang. Bapak Bupati yang dulu menjabat selama 2 periode itu sekarang mendekam di penjara, bukan karena kasus ijazah palsu tapi korupsi besar-besaran. Papaku sempat ditawari untuk membawa kasus ijazah itu ke pengadilan, tapi Papa menolak karena menurutnya pak Bupati ini sudah mendapatkan pelajaran yang setimpal dengan perbuatannya. Meski nggak segetol jaman dulu, sampai sekarang Papa masih antusias dengan dunia politik, tiap remote TV ada di tangan Papa channel akan selalu terfokus pada berita, diskusi atau debat politik. Oh ya, Papaku nggak lagi menjabat sebagai Gembala Sidang karena saat kejadian 2000 (cara kami sekeluarga menyebut kejadian luar biasa yang kami alami) Papa dicopot dari jabatannya sebagai Gembala Sidang sekaligus Pendeta dari sebuah instansi gereja.
Jujur, aku sempat merasa malu karena punya Papa yang kerjaannya nggak jelas. Disaat teman-temanku punya orangtua yang kerjanya jadi guru, pedagang, pegawai kantor, aku selalu bingung saat ditanya tentang profesi orangtuaku. Sekarang, aku justru merasa bangga sama Papaku karena jarang sekali bisa menemukan seseorang yang punya keteguhan untuk menegakkan kebenaran no matter what. For who he is, I am proud of him and will always be :)
Oke, itu dia bagian yang membuat postingan hari ini panjang. Masa lalu itu nggak akan menghambat kami untuk tetap berjuang maju, kami sekeluarga justru bersyukur karena melalui kejatuhan itulah kami bisa belajar untuk bangkit. Sekarang kami sekeluarga menetap di Klaten dan Puji Tuhan sudah tinggal di rumah sendiri, nggak jadi kontraktor (tukang ngontrak) lagi. Selain kami berempat, ada lagi komponen yang membangun kehangatan dan keceriaan di rumah kami; 3 anjing kesayangan kami, Bunder, Chaha dan Luca. Tiga anjing itu memang bukan manusia yang bisa berbicara, tapi mereka sudah menyatu dan menjadi bagian dari keluarga kami :D
Jika menoleh ke belakang dan melihat kehidupan kami sekarang, kami sekeluarga sadar kalau hidup kami nggak pernah terlepas dari kasih karunia Tuhan. Banyak hal-hal mustahil yang menjadi nyata terjadi di dalam kehidupan kami sekeluarga, misalnya saja rumah yang kami tempati sekarang hanya dimulai dengan Rp 500.000. Dari rencana awal yang hanya mau membangun rumah berdinding anyaman bambu sampai akhirnya menjadi sebuah rumah bertingkat dua, itu semua terjadi bukan karena kami punya duit banyak, nggak. Cuma karena anugerah-Nya saja kami bisa menjalani hidup yang layak sampai sekarang. Satu hal orangtua saya selalu pegang, keyakinan bahwa Tuhan nggak akan membiarkan anak-Nya berkekurangan.
Terimakasih sudah membaca postingan yang lumayan panjang ini, semoga nggak bikin bosan hehehe.
Di keluarga kami, bahasa yang dipakai itu ada 4; Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, sedikit Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak. Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi, alasannya supaya adil karena Mama saya nggak lancar berbahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa kedua yang sering dipakai di rumah saat kami sedang bercanda, sedangkan Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak hanya dipakai untuk menyebut istilah-istilah tertentu saja seperti "menggurak" yang berarti "mendidih" dalam Bahasa Banjar dan "kuman" yang berarti "makan" dalam Bahasa Dayak.
Kami sekeluarga tinggal di Sragen sampai aku kira-kira berumur 6 tahun. Pada tahun 2000 kami terpaksa keluar dari Kabupaten Sragen karena hal yang tidak memungkinkan. Jadi, ceritanya begini:
Saat itu selain menjabat sebagai seorang pendeta, Papaku juga berkecimpung di dalam dunia politik. Bahkan Papaku sempat aktif di sebuah partai politik berlambang banteng, kalau nggak salah saat itu Papaku menjabat sebagai ketua ranting. Awalnya semua berjalan dengan sangat baik dan menyenangkan, Papa bisa dibilang salah satu orang sukses di desa kami. Semua orang di desa kenal Papa dan hampir seluruh penikmat politik di Sragen juga kenal Papa. Permasalahan muncul saat Papa membongkar kasus dugaan pemalsuan ijazah calon bupati yang diusung partai kerbau. Papa dan teman-temannya berusaha supaya kasus ini bisa naik ke pengadilan jadi calon bupati itu nggak bisa memerintah Sragen, bisa dibayangkan kan gimana misalnya seorang penipu memerintah? Sayangnya usaha Papa cs nggak berjalan mulus, si calon bupati ini bahkan terpilih menjadi pemimpin kabupaten Sragen selama 2 periode.
Aku masih ingat aku dan keluarga pernah diundang ke rumah bapak bupati itu beberapa hari setelah dia terpilih. Rumahnya itu yaa, bener-bener mewah dan besar! Bahkan halaman belakangnya itu kaya kebun binatang mini; ada kijang, angsa, macam-macam hewan ada disitu. Keluargaku dibawa ke suatu ruangan besar, entah itu ruang apa aku juga udah agak lupa. Disini, orangtuaku berbincang dengan bapak bupati sedangkan aku asyik mengunyah apel, bercanda sama adekku dan melihat kijang di kebun belakang.
Aku yang saat itu masih berusia 6 tahun jelas nggak ngerti hal yang sedang dibicarakan para orang dewasa saat itu. Apapun yang dibicarakan di dalam ruangan itu, aku yakin hasilnya nggak memuaskan karena beberapa hari kemudian, ada seorang preman bertubuh besar datang ke rumah dan menghajar Papaku. Aku lihat bagaimana Mamaku berdiri di depan Papaku, berusaha melindungi sambil membentak si preman, "Saya ini Dayak, kamu macam-macam sama suami saya, saya bisa bikin kamu mati sekarang!" Saat itu aku cuma bisa berdiri gemetaran di ambang pintu sambil mengenggam potongan bambu erat-erat sedangkan adekku menangis di dalam kamar. Beberapa hari setelah kejadian itu, jam 3 pagi aku dibangunin orangtuaku untuk masukin barang seperlunya ke dalam tas. Aku lihat orangtuaku menitipkan beberapa barang elektronik pada tetangga dan jemaat gereja. Aku nggak ngerti apa yang terjadi saat itu, aku tanya Mama dan beliau cuma bilang, "Kamu mau main ke rumah mbah Putri". Orangtua dari Papaku tinggal di Klaten, dan pagi itu dengan baju tidur yang belum sempat diganti aku, Papa dan adek bertolak ke Klaten dengan mengendarai mobil Jeep yang dikendarai oleh seorang anggota kepolisian. Aku tanya Papa kenapa Mama nggak ikut dan Papa bilang kalau Mama sedang menjaga rumah.
Hampir 3 hari aku habiskan waktu di rumah Mbahku dan aku merasa sangat dibatasi saat itu karena hanya bisa main di halaman rumah aja, nggak boleh kemana-mana. Kalau mau jajan ke warung pun harus ada orang dewasa yang nemenin. Aku juga diwanti-wanti untuk nggak menjawab saat ada orang asing yang bertanya, "Kamu anaknya siapa?" Setelah 2 hari dilewati dengan kebingungan karena Mamaku, yang katanya mau nyusul nggak datang-datang juga, akhirnya di hari ketiga Mama datang diantar salah satu teman politik Papa dengan membawa barang-barang dari rumah. Aku ingat saat itu aku dan adek langsung lari ke arah Mama yang menangis, saat itu aku pikir pasti Mama kangen sama aku.
Lama sudah aku tinggal di rumah Mbahku dan aku mulai bertanya kapan aku masuk sekolah. Saat itu aku udah duduk di bangku kelas 2 SD di SD Kristen Sragen, and for your information, aku berangkat ke Klaten saat hari sekolah bukan hari libur. Akhirnya saat itu aku dititipkan di SD Negri Bulan 2, aku belajar disitu selama 1 caturwulan sebelum akhirnya kami sekeluarga pindah ke Jogja.
Di Jogja, kami tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Karang Ploso, Maguwoharjo selama kurang-lebih 1,5 tahun. Aku merasa nyaman selama tinggal di Jogja karena nggak lagi dibatasi pas mau main, aku bahkan bergabung pada salah satu sanggar tari bernama Kembang Setaman dan sempat pentas sekali disitu.
Dari Jogja, kami sekeluarga pindah lagi ke Klaten tepatnya di daerah Delanggu, disinilah kami menetap. Aku disekolahkan di SD Kanisius Delanggu, disini aku lama menghabiskan masa SDku dari kelas 4 sampai kelas 6. Untuk pertama kalinya aku bisa awet di satu sekolah tanpa pindah-pindah lagi. Masa SDku disini menyenangkan karena dari sini aku mengenal pramuka, aku juga melanjutkan mendalami seni tari dan sedikit mempelajari gamelan di sanggar Ganesha di seberang sekolah, aku juga punya sahabat yang bertahan sampai sekarang namanya Gustin. Keluargaku, walaupun masih berpindah-pindah rumah kontrakan, tapi kehidupan kami jauh lebih nyaman nggak terlalu was-was seperti beberapa tahun sebelumnya.
Semakin aku besar, semakin aku mengerti apa yang menimpa keluargaku sampai kami harus hidup nomaden. Rupanya, keputusan Papa untuk menolak tawaran sekoper rupiah dan tetap bersikukuh membongkar kasus ijazah palsu saat bertemu di rumah si bupati membuat bapak bupati ini geram dan melakukan berbagai cara supaya Papaku "habis" dan kasusnya hilang bersama Papaku. Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Saat jam 3 pagi aku dibangunin itu ternyata Papaku udah dapat info kalau rumah mau diserang oleh simpatisan si bupati. Pihak kepolisian pun berupaya mengamankan Papaku dengan cara dilarikan ke Klaten. Bagaimana dengan Mamaku? Mama ada di dalam rumah saat para simpatisan itu melempari rumah dengan batu, sayangnya upaya simpatisan itu nggak ada hasilnya karena rumahku sudah 'dilindungi'. Sekitar 2 hari Mamaku bertahan di dalam rumah sampai akhirnya pihak kepolisian menjemput paksa Mamaku karena kondisi yang sudah tidak kondusif lagi, dengan kata lain nyawa Mamaku terancam. Saat itu juga ternyata orangtuaku meminta tolong pada banyak pihak untuk menjaga aku dan adekku, jangan sampai ada orang asing yang tau siapa orangtuaku. Itu terjadi karena adanya isu bahwa si bupati ini menyewa orang untuk menculik keluargaku, benar atau nggaknya isu ini aku juga nggak tahu. Finally, thank God, kami sekeluarga berkumpul kembali di Klaten walaupun saat itu kami sama sekali nggak akan bisa kembali ke Sragen.
Yap, itu masa lalu kelam yang masih membekas di ingatan kami sekeluarga sampai sekarang. Bapak Bupati yang dulu menjabat selama 2 periode itu sekarang mendekam di penjara, bukan karena kasus ijazah palsu tapi korupsi besar-besaran. Papaku sempat ditawari untuk membawa kasus ijazah itu ke pengadilan, tapi Papa menolak karena menurutnya pak Bupati ini sudah mendapatkan pelajaran yang setimpal dengan perbuatannya. Meski nggak segetol jaman dulu, sampai sekarang Papa masih antusias dengan dunia politik, tiap remote TV ada di tangan Papa channel akan selalu terfokus pada berita, diskusi atau debat politik. Oh ya, Papaku nggak lagi menjabat sebagai Gembala Sidang karena saat kejadian 2000 (cara kami sekeluarga menyebut kejadian luar biasa yang kami alami) Papa dicopot dari jabatannya sebagai Gembala Sidang sekaligus Pendeta dari sebuah instansi gereja.
Jujur, aku sempat merasa malu karena punya Papa yang kerjaannya nggak jelas. Disaat teman-temanku punya orangtua yang kerjanya jadi guru, pedagang, pegawai kantor, aku selalu bingung saat ditanya tentang profesi orangtuaku. Sekarang, aku justru merasa bangga sama Papaku karena jarang sekali bisa menemukan seseorang yang punya keteguhan untuk menegakkan kebenaran no matter what. For who he is, I am proud of him and will always be :)
Oke, itu dia bagian yang membuat postingan hari ini panjang. Masa lalu itu nggak akan menghambat kami untuk tetap berjuang maju, kami sekeluarga justru bersyukur karena melalui kejatuhan itulah kami bisa belajar untuk bangkit. Sekarang kami sekeluarga menetap di Klaten dan Puji Tuhan sudah tinggal di rumah sendiri, nggak jadi kontraktor (tukang ngontrak) lagi. Selain kami berempat, ada lagi komponen yang membangun kehangatan dan keceriaan di rumah kami; 3 anjing kesayangan kami, Bunder, Chaha dan Luca. Tiga anjing itu memang bukan manusia yang bisa berbicara, tapi mereka sudah menyatu dan menjadi bagian dari keluarga kami :D
Jika menoleh ke belakang dan melihat kehidupan kami sekarang, kami sekeluarga sadar kalau hidup kami nggak pernah terlepas dari kasih karunia Tuhan. Banyak hal-hal mustahil yang menjadi nyata terjadi di dalam kehidupan kami sekeluarga, misalnya saja rumah yang kami tempati sekarang hanya dimulai dengan Rp 500.000. Dari rencana awal yang hanya mau membangun rumah berdinding anyaman bambu sampai akhirnya menjadi sebuah rumah bertingkat dua, itu semua terjadi bukan karena kami punya duit banyak, nggak. Cuma karena anugerah-Nya saja kami bisa menjalani hidup yang layak sampai sekarang. Satu hal orangtua saya selalu pegang, keyakinan bahwa Tuhan nggak akan membiarkan anak-Nya berkekurangan.
Terimakasih sudah membaca postingan yang lumayan panjang ini, semoga nggak bikin bosan hehehe.
take care, God bless us
No comments:
Post a Comment
Thank you for visiting and reading my blog, don't forget to leave your comments or suggestions here :D