Sudah terlalu sering aku dikatain, dipelototin dan dibentak-bentak karena aku menolak menyisihkan sebagian kecil uangku untuk pengemis. Beberapa mungkin akan menilai aku sebagai orang yang kikir dan pelit, well, let me tell you the reason behind it.
![]() |
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/23/melihat-pengemis-di-tanah-suci-576034.html |
Malam ini waktu lagi makan sama pacar di lesehan di bawah flyover Janti, ada seorang gadis muda dengan tubuh proporsional dan pakaian pantas (nggak kucel, kumuh, kusam ataupun lusuh) menghampiri dan menyodorkan amplop bertuliskan "Mohon bantuan..." kemudian ngeloyor pergi. Pacar dan aku sama sekali nggak bergeming, amplop pun dibiarkan di lantai saja, ya kita lagi enak-enak makan pakai tangan gitu, lho. Lalu si gadis pengemis ini datang lagi, pacar langsung menyodorkan amplop yang kosong. Bukannya langsung pergi, eh si gadis pengemis ini merayu-rayu pacarku minta duit padahal si mas Dody udah nolak berkali-kali, saking jengkelnya aku langsung melambaikan tanganku tanda menolak. Tau gak, si gadis itu pergi sambil melotot ke arahku!
Nggak berapa lama, di ujung jalan ada seorang ibu menggandeng anaknya yang sedang menenteng gelas plastik bekas berisi recehan uang. Benar saja feelingku, ibu dan anak ini menghampiri aku dan pacar, yang bikin nggak habis pikir, ibunya ini membimbing anaknya untuk menyodorkan gelas plastik itu ke hadapanku. Dengan tegas tapi sopan aku dan pacar bilang, "Nggak, dek." Ibu dan anak ini langsung pergi mencari lapak lain. Beberapa menit kemudian, ada anak kecil usia 3 tahun yang nempel-nempel punggung pacarku dari belakang, awalnya aku pikir dia anak empunya warung, lho. Guess what, si anak ini ternyata membawa gelas plastik bekas yang telah terisi rupiah dan dia mondar-mandir di jalan sendirian! Emosiku mendidih saat itu, aku nggak habis pikir, orangtuanya tuh kemana? Apa motivasi orangtuanya bikin anak kalo cuma di-ler gitu aja di jalanan??
Awal mula aku menolak memberikan uangku pada pengemis itu ketika aku SD, saat teman Mama cerita perjuangannya menyelamatkan anak jalanan di Jakarta. Dia mengajak dan mewanti-wanti semua kerabatnya untuk berhenti memberi uang pada pengemis, sampai-sampai anak jalanan yang tinggal di Rumah Singgahnya marah-marah ke dia. Alasan dia melakukan itu semua sederhana; semakin dikasih uang semakin mereka keenakan. Pernah dengar atau membaca berita yang bilang kalau penghasilan pengemis dalam sehari bisa mencapai ratusan ribu rupiah? Kalau belum, coba klik dan baca artikel ini. Bayangkan, hanya dengan bermodalkan baju lusuh dan tampang memelas bisa dengan mudahnya mendapatkan uang, padahal banyak di luaran sana yang belajar bertahun-tahun demi titel Sarjana dan masih menganggur. Enak banget ya jadi pengemis?
Seiring dengan berjalannya waktu, aku semakin kukuh untuk mengacuhkan pengemis, aku nggak akan merogoh kantongku untuk orang yang hanya bisa bilang, "Minta uang, mbak." Sebisa mungkin aku berusaha untuk nggak memberikan uangku untuk pengemis, alasannya:
1. Aku gamau kalau pengemis itu dipalak preman trus uang yang aku kasih dengan maksud baik malah dipakai untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab.
2. Aku nggak mau memanjakan mental asal terima tanpa mau berusaha.
3. Aku ingin mengurangi kesenjangan sosial di Indonesia.
Bagaimana bisa mengurangi kesenjangan sosial hanya dengan tidak memberi uang pada pengemis? Begini, semakin banyak orang memberi uang pada pengemis, semakin banyak populasi pengemis bermunculan di negeri ini. Kebanyakan pada mikir kalau pengemis itu orang yang nggak mampu, padahal mereka itu mampu cuma nggak mau berusaha aja. Banyak lho orang yang secara finansial jauh lebih terpuruk dibanding para pengemis di jalanan tapi masih berusaha untuk berjuang; jualan karak kek, jualan intip (kerak nasi yang diolesi gula jawa cair) kek, apapun dilakukan supaya bisa tetap makan tanpa menadahkan tangan.
Aku pernah bertemu seorang ibu yang jualan jeruk saat lagi nunggu bis mau pulang ke Klaten di halte, ibu itu tersenyum sangaaaatttt ramah dan tulus. Beliau menawarkan jeruknya pada orang-orang di halte satu persatu dengan senyuman yang nggak pernah berhenti, aku yang saat itu cuma punya uang cukup untuk transportasi Jogja-Delanggu cuma bisa meminta maaf sambil menahan nangis karena nggak bisa membeli jeruknya. Aku sedih banget saat itu, bukan karena aku kepengen jeruknya (aku nggak suka buah jeruk), tapi karena aku nyesel nggak bisa membantu ibu ini. Saat akhirnya tidak ada satupun orang di halte yang membeli jeruknya, dia pun pergi sambil tetap tersenyum. Untuk aku, ibu penjual jeruk ini adalah salah satu orang yang pantas menerima uang milyaran rupiah daripada pengemis di jalanan.
Daripada memberi uang pada pengemis, lebih baik aku memberikan makanan, baju, atau kebutuhan yang sudah pasti sangat diperlukan dan nggak bisa dipalak sama preman. Aku pribadi lebih bahagia saat melihat anak jalanan berebut snack yang aku kasih daripada melihat mereka mengiba dari satu orang ke yang lain. Coba deh, waktu lagi di lampu merah kasih anak jalanan itu snack atau es krim, pasti mereka langsung berhenti mengemis, menepi ke pinggir jalan dan membuka bungkusan snack/es krim dengan senyuman girang khas anak-anak. To see such expression is priceless.
Melalui post ini, aku sengaja mengajak para pembaca untuk berhenti memberikan uang pada pengemis. Jangan terus-terusan menyalahkan program atau kinerja pemerintah, sekali-sekali mulailah dari diri sendiri dulu. Saat nggak ada lagi orang yang "memanjakan" pengemis dengan uang, uang dan uang, aku yakin semakin lama populasi pengemis akan semakin berkurang. Aku nggak bilang cara ini bisa menghentikan para pengemis untuk beredar, seenggaknya bisa lah untuk menguranginya. Jika benar-benar iba, beri mereka apa yang dibutuhkan, bukan uang. Terkadang uang memang bisa memecahkan masalah, tapi nggak semua masalah bisa dipecahkan dengan uang, cuy.
Terimakasih sudah membaca,
semoga bisa menginspirasi :) GBUs!
No comments:
Post a Comment
Thank you for visiting and reading my blog, don't forget to leave your comments or suggestions here :D