Hai!
Emang rada telat untuk menerbitkan post ini, harusnya dipublish tanggal 9 kemarin supaya momennya pas. Yah, apa daya tanggal 9 waktuku habis untuk siap-siapin kebutuhan pendakian gunung Prau tanggal 10, jadi yaa...baru sempat sekarang deh.
Sebelumnya, aku mau menekankan kalau isi dari postingan ini murni subyektif. Juga, aku ga memasukkan unsur politik atau masalah lampau yang sering banget dikumandangkan di Pilpres kali ini karena aku nggak ngerti apa-apa tentang hal itu. Biarlah aku menulis tentang apa yang aku tau aja, daripada sok tau dan ternyata salah, ya kan kan kan?
Jadi, pemilu Presiden 2014 ini adalah kesempatan pertama kali dalam hidupku untuk menggunakan suara dan memilih pemimpin negara Indonesia tercinta ini. Jujur, aku nggak terlalu tertarik untuk memanfaatkan hak pilihku, bahkan aku berencana untuk tetap datang ke TPS tapi merusak surat suaranya, bikin gambar hati di kertasnya yang gede biar unyu dan anti-mainstream gitu. Ini terjadi karena dari kecil aku udah skeptis duluan sama hal-hal berbau politik, udah jengah banget melihat gimana caranya dia (baca: politik) memporak-porandakan masa kecilku. Aku mikirnya, politik itu kotor dan penuh dengan orang licik. Ya, aku nggak belajar politik memang dan nggak tertarik juga, jadi mohon dikoreksi kalau pandanganku ini sangat dangkal.
Pada Pemilu Legislatif bulan April lalu, aku malah asyik-asyikan tidur di kos disaat orang lain rame-rame berbondong ke TPS (padahal bagian depan kosku dijadiin TPS). Seharusnya aku pulang Klaten untuk mencoblos, tapi aku ogah karena toh aku nggak tau mau milih siapa, kenal sama calegnya aja enggak. Perasaan takut salah pilih dan skeptis selalu muncul, ini karena aku pernah diajak mamaku ke acara yang katanya ibadah tapi ternyata dijadikan alat kampanye sama salah seorang caleg, mana abis itu ada acara bagi-bagi duit yang diembel-embeli "uang transport" pula. BHAH! Pandanganku benar-benar buruk sama caleg-caleg itu dan aku menolak memberikan suaraku untuk mereka.
Selepas Pileg, datanglah Pilpres. Dari sekian banyak promosi, iklan, kampanye sampai acara "menyamar" yang dilakukan para bapak-bapak yang mencalonkan diri sebagai Presiden, nggak ada yang bikin aku tergugah dan merasa harus menggunakan hak pilihku. Toh, orangnya juga itu-ituuu aja, udah ketebak nanti bakal jadi kaya gimana kalau mereka memerintah. Jengah sama orang-orang yang berkali-kali mencalonkan diri sebagai Presiden, rasanya mereka itu haus banget sama jabatan. Padahal, jadi Presiden kan tugasnya nggak segampang tidur di rapat paripurna.
This photo was taken on July 19, 2014 at Ngarsopuro Street, Solo. |
Kemudian, sesaat sebelum pendaftaran Calon Presiden dibuka oleh KPU, muncullah sosok yang sering dielu-elukan untuk maju ke kursi kepresidenan. Siapa lagi kalau bukan Jokowi, cah Solo yang sering dicibir karena mukanya "ndeso". Melihat beliau mendeklarasikan diri sebagai Capres, harapan untuk sesuatu yang baru langsung muncul, rasa skepstisku perlahan-lahan menghilang. Alasannya? Simple. Karena aku mengagumi sosok beliau sejak aku nonton pagelaran Solo Batik Carnival 1 di tahun 2008. Aku ceritain secara singkat yah asal mula perasaan kagum terhadap pak Jokowi ini muncul.
Waktu itu aku, adek dan mamaku main ke Solo buat nonton karnaval Batik yang pertama kalinya digelar. Seingatku, mamaku dapat info tentang karnaval ini dari koran Solopos yang notabene selalu dibeli papaku setiap hari. Dari Delanggu kami bertiga berangkat ke Solo naik bis, turun di dekatnya Solo Square trus jalan kaki menuju Solo Center Point, tempat start-nya SBC. Setelah agak lama nunggu sambil berdiri di pinggir jalan Slamet Riyadi dari siang, akhirnya karnaval pun dimulai. Kereta-kereta kencana plus kuda-kuda penarik yang buang hajat seenak jidat membuka karnaval saat itu. Nggak lama ibu-ibu di sampingku heboh teriak-teriak manggil nama orang, "Eh lha kui pak Joko!". Aku pikir gerombolan ibu ini heboh liat tetangganya yang jadi peserta karnaval. Trus aku kaget dong waktu tau yang diteriakin sama ibu-ibu itu ternyata seorang bapak cungkring berkostum arjuna yang biasa aja, nggak seheboh peserta karnaval yang lain. Dalam hati pun aku mencibir, "Dih, ni orang ikutan karnaval niat nggak sih!" dan cibiran ini berhenti saat mamaku bisik-bisik,
"Itu Walikota Solo yang namanya Jokowi"
"HAH???!!! Yang bener, ma??" aku langsung kaget setengah mati.
"Iyaaaa, nggak percaya liat aja nanti di TV," jawab mamaku.
Setelah mamaku bilang gitu, pak Jokowi yang sedang berjalan kaki diantara ranjau-ranjau kotoran kuda menghampiri gerombolan ibu di sebelahku, menyapa dan menjabat tangan mereka satu per satu sambil tersenyum lebar. Aku ternganga waktu lihatnya, belum pernah aku lihat ada pejabat yang se-humble ini! Dari situlah aku mengagumi sosok pak Jokowi, sampai sekarang.
Selama masa kampanye, sering keyakinanku untuk menggunakan hak pilih goyah karena was-was fenomena SBY terulang lagi. Masih inget kan gimana euforianya masyarakat Indonesia waktu SBY pertama kali mencalonkan diri jadi Presiden? Gimana sekarang, masih ada kah pujian yang mengelu-elukan Presiden RI ke-6 itu? Kekhawatiran ini yang bikin aku ragu untuk memilih. Aku takut kalau nanti saat udah jadi orang nomor 1 pak Jokowi ini lupa diri dan lebih melayani diri sendiri daripada rakyatnya. (Tuh kan, tugas jadi Presiden nggak enak, harus jadi "kacung"nya rakyat Indonesia yang seabrek ini.) Lebih khawatir lagi kalau-kalau pak Jokowi ini bakal menyalahgunakan kewenangannya sebagai orang nomor 1 di Indonesia.
Nggak mau terlena sama rasa khawatir yang dasarnya rada konyol ini, aku pun rajin scrolling Twitter dan Facebook, cari-cari informasi curhatan warga Solo dan Jakarta tentang Jokowi soalnya mereka udah pernah ngerasain pemerintahannya doi. Biasanya aku dapat infonya tuh dari link yang dishare sama temen-temenku. Dalam masa kampanye ini teman-temanku di Facebook dan Twitter pada gencar gitu share-share berita tentang Jokowi, sampai-sampai aku rada gerah karena aku anggap pilihan itu harus dirahasiakan. Yah, walaupun gerah teteup aja itu link-link yang mereka share aku baca *dasar plin plan*. Dari hasil baca-baca link, liat capture foto Jokowi sebelum tenar yang nyebar dan... ngepo Twitter dan blog anaknya Jokowi yang terakhir, mantaplah pilihanku untuk gagal golput di Pemilihan Presiden 2014.
Itu kenapa anak bungsunya Jokowi dibawa-bawa?
Abisnya blognya kocak, cuy!!! Doi nggak sok-sokan mentang-mentang anak pejabat gitu, ga belagu. Kalo ga percaya liat aja Twitter sama blognya. Iyah, iyah, aku emang orangnya kepo maksimal sampai-sampai bisa nemu hal kaya begituan. Hubungannya sama Jokowi, kalo dilihat dari pribadinya Kaesang yang tercermin dari Twitter dan blognya, berarti Jokowi ini bener-bener profesional dalam mengerjakan tugasnya sebagai abdi rakyat. Doi berhasil memisahkan politik dari keluarganya. Buktinya, tuh si Kaesang ga mendadak sok ngerti politik walaupun bapaknya udah jadi pejabat. Nggak juga sok pinter dan jaim walaupun bapaknya orang berpengaruh di Indonesia (bahkan dunia!). Bahkan, denger-denger waktu Jokowi masih menjabat sebagai walikota, bisnis katering si anak sulungnya nggak boleh nerima orderan dari Pemkot. Asli cadas abis! Jarang ada orang yang nggak mau memanfaatkan kesempatan sebagai pemimpin demi kemakmuran keluarganya.
Saking kagumnya aku sama pak Jokowi ini, sampai-sampai aku patungan sama papa karena duitku kurang beli buku biografi resminya Jokowi karangan Albethiene Endah.
Dari buku ini aku makin mengagumi sosok beliau yang open-minded dan nyantai. Aku juga semakin yakin doi bakal jadi sosok pemimpin dan abdi rakyat yang baik karena beliau sendiri berasal dari rakyat. Aku punya teori, aku pernah share teori ini disini apa belum aku lupa, jadi teoriku ini adalah seorang yang pernah merasakan susahnya hidup jadi kaum tersingkirkan, jadi rakyat kecil, pasti bisa menjadi sosok pemimpin yang baik karena doi udah tau rasanya dan udah tau gimana caranya keluar dari jerat kemiskinan. Kalo sempat dan ada waktu, coba aja baca buku ini dan pahami betapa wajar dan biasanya yang beliau lakukan tapi dianggap diluar kelaziman oleh khalayak umum karena yang wajar dan biasa itu nggak ada. Selama ini yang dianggap wajar tuh ya pemimpin yang korup, tinggi hati dan mementingkan kepentingan sendiri. Giliran ada pemimpin yang bener-bener mengabdi, segala lirikan tajam pun datang karena ada sesuatu yang di luar kebiasaan.
Nah, itu dia alasan paling mendasar aku untuk gagal golput dan mencoblos gambar pak Jokowi di bagian pundak di kertas suara pada tanggal 9 Juli 2014 lalu. Selain itu, ada alasan lain yang juga mendukung aku untuk gagal golput yaitu rasa takut. Pada tau kan siapa aja orang-orang di belakangnya pak Prabowo? Yup, partai-partai juga ormas berbasis agama yang ekstrim berbaris di belakang doi. Mereka yang bikin aku takut. Aku nggak ngebayangin kalau misalnya pak Prabowo menang dan mereka, yang mengatasnamakan agama untuk berbuat kekerasan, makin bebas untuk ngamuk disana dan disini. Alih-alih bubar, para manusia fanatik itu bakal makin berkibar. Ngeri lah ngebayanginnya, makanya aku gamau golput dan menyumbangkan suaraku secara sukarela untuk pak Joko.
Seperti yang aku bilang di atas tadi, isi dari post ini murni SUBYEKTIF. Alasan-alasanku juga bukan alasan ilmiah yang musti diuji dulu kebenarannya, semua berdasarkan intuisi dan perasaan doang. Buat kamu yang tanggal 9 Juli kemarin memilih Jokowi, TOS dulu, cuy! Buat kamu yang milih Prabowo, peace ya, cuy. (^__^)v Buat kamu yang memilih untuk golput, ya nggak papa, itu pilihanmu kok.
Dan aku, aku yakin pilihanku bisa dan akan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Aku bangga sudah menggunakan hak pilihku untuk mencoblos gambar sebelah kanan pada surat suara. Aku bangga pilihanku adalah Jokowi dan aku yakin pilihanku adalah pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia.
Akhir kata, salam dua jari! (^__^)v
Wah nyoblos juga ya, seru!
ReplyDeleteIyaa, km jg nyoblos kaan? :D
Deletewah seruu
ReplyDeletesalam 2 jari :)
salam 2 jari :D
DeleteSelamat udah milih, mba. Pilpres kali ini rame ya.
ReplyDeleteIya nih rame bangettt hahaha
Deletealhasil alhamdulillah bapa jokowi yang menang ..haha saya juga pemilihnyaa .
ReplyDelete